Mari Hentikan Bicara Politik Praktis di Masjid, Apalagi Jelang Pemilu ... Mari Hentikan Bicara Politik Praktis di Masjid, Apalagi ...
Mari Hentikan Bicara Politik Praktis di Masjid, Apalagi Jelang Pemilu 2019
Belakangan ini ramai pembicaraan tentang boleh-tidaknya masjid dijadikan sebagai tempat untuk membincang masalah kepolitikan. Bagaimanaâ¦
Baik yang pro maupun kontra sama-sama menjadikan teks-teks keislaman, ayat-ayat Al-Qur'an serta Hadis dan perilaku Nabi Muhammad sebagai acuan atau "basis teologi-keagamaanâ untuk memperkuat atau melegitimasi pendapat dan argumen mereka.
Kelompok yang membolehkan misalnya mengatakan dan mengklaim kalau dulu Nabi Muhammad selalu menjadikan masjid sebagai medium untuk membincang masalah kepolitikan, selain untuk ceramah dan salat atau sembahyang.
S aya sendiri berpendapat tidak masalah membicarakan masalah kepolitikan di masjid. Tetapi menjadi masalah kalau masjid dipolitisir atau dipolitisasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik praktisâ"kekuasaan dan menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan berbagai hoaks, agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik (meskipun sesama Muslim) dan memecah-belah masyarakat dan umat Islam.
Maka, untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk, masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis. Bukan hanya itu saja, masjid idealnya juga jangan dipakai sebagai medium untuk menyebarkan intoleransi dan kebencian terhadap kelompok lain apalagi terhadap sesama umat Islam itu sendiri.
Dalam sejarahnya, memang benar Nabi Muhammad menjadikan masjid sebagai tempat untuk berpolitik. Dulu, masjid, yang secara harfiah berarti "tempat sujudâ (atau tempat bersujud / menyembah kepada Tuh an), bukan hanya tempat untuk bersujud, salat, berdoa, dzikir, wiridan, khotbah dan sebagainya tetapi juga untuk kegiatan sosial, politik, pendidikan, dan kemiliteran. Masjid juga dijadikan sebagai "tempat pengadilanâ jika terjadi masalah-masalah hukum menyangkut kaum Muslim. Dengan kata lain, masjid di zaman nabi memiliki multifungsi dari masalah teologi-keagamaan hingga masalah sosial-kemasyarakatan.
Kenapa begitu?
Karena dulu, masjid yang diadopsi dari tradisi pra-Islam Nabatea dan Aram ini, adalah satu-satunya bangunan publik yang dimiliki oleh umat Islam awal. Itupun jumlahnya cuma satu dua. Di zaman Nabi Muhammad hanya ada segelintir masjid, yaitu Masjid Haram (Makah), Masjid Nabawi (Madinah), dan Masjid Quba' (Madinah). Ada pula yang mengatakan termasuk masjid tertua adalah Masjid Sahabat di Massawa, Eritrea, yang dipercaya sebagai masjid pertama di Benua Afrika yang dibangun oleh para sahabat nabi untuk menghindari persekusi yang dilakukan oleh kaum kafir Makah. Sejumlah sejarawan menilai Masjid Quba' sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Nabi Muhammad.
Jadi, karena dulu masjid adalah satu-satunya bangunan publik maka sangat wajar kalau semua aktivitas nabi dan umat Islam awal dipusatkan di masjid. Dulu madrasah, perpustakaan, pengadilan, apalagi kantor ormas dan parpol, belum ada. Madrasah, kampus, pengadilan, dan perpustakaan baru ada di abad pertengahan Islam di zaman kerajaan jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Selain itu, Nabi Muhammad menggunakan masjid sebagai medium berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam agar mampu bertahan hidup dari gempuran kelompok non-Muslim, khususnya di kawasan Jazirah Arab, yang memusuhi dakwah-dakwah sosial-keagamaan Nabi Muhammad. Perlu diingat, waktu itu tidak semua kaum non-Muslim itu memusuhi Nabi Muhammad. Banyak dari mereka (karena diikat oleh solidaritas suku, kesamaan visi-misi, atau kepentingan politik-ekonomi yang sama) yang membangun ko alisi dengan beliau melawan kaum oposan.
Hal ini tentu saja sangat kontras dengan perkembangan mutakhir di Indonesia dimana masjid dan musala atau langgar digunakan untuk alat penyebaran hoaks, kampanye, dan propaganda busuk guna memusuhi sesama umat Islam itu sendiri yang kebetulan memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan "rezim masjidâ yang bersekongkol dengan "rezim parpolâ tertentu. Masjid bukannnya dipakai untuk berdakwah dan memperjuangkan kesejahteraan umat Islam tetapi malah digunakan untuk memecah-belah kaum Muslim.
Jakarta, pada waktu Pilgub yang lalu, menjadi saksi bisu bagaimana masjid-masjid telah "diperkosaâ dan dipolitisasi sedemikian rupa oleh "sindikat busukâ dan gerombolan para "badutâ politik-agama yang haus kekuasaan. Bahkan bukan hanya di Jakarta, virus kebusukan, kejahatan, dan politisasi masjid itu juga menular dan menjalar di kawasan lain di Indonesia. Demi memuluskan jalan kepentingan politik praktis kekuasaan, mereka tidak segan-segan memakai cara-cara kotor: menyalahgunakan fungsi masjid, memanipulasi hadis, "memperkosaâ ayat, dan "menipuâ Tuhan.
Halaman selanjutnya 12 Sumber: Deutsche Welle Ikuti kami di Dengar Suara Tangisan, Pria di Lampung Kaget Lihat Istri Bunuh Kedua Anak Kandungnya Sumber: Google News
No comments