Pemecatan 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang terbukti melakukan penganiayaan merupakan langkah maju. Selama ini penanganan kasus peng...
Pemecatan 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol) yang terbukti melakukan penganiayaan merupakan langkah maju.
Selama ini penanganan kasus penganiayaan di Akpol itu sering tertutup.
Penganiayaan yang dilakukan taruna menyebabkan tewasnya taruna junior di lembaga pendidikan kepolisian tersebut.
"Sikap tegas ini sebuah kemajuan. Selama ini penanganan kasus di Akpol cenderung tertutup. Baru kali ini penanganan kasus di Akpol sangat transparan," tutur Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane, Selasa (12/2/2019).
Neta S Pane menyebut, baru kali ini taruna Akpol sebanyak itu dipecat akibat melakukan penyiksaan yang menyebabkan kematian, meski sempat menggantung sejak 2017.
Sementara pemecatan itu diambil setelah digelar sidang Dewan Akademik (Wanak) Akpol yang dipimpin Gubernur Akpol Irjen Rycko Amelza Dahniel dan dihadiri Kalemdikpol Arief Sulistyanto.
Kasus penganiayaan yang menyebabkan terbunuhnya Brigadir Dua Taruna M Adam pada Mei 2017 itu, melibatkan 14 taruna Akpol.
Sebelumnya pada Juli 2018, seorang taruna telah dipecat melalui sidang Wanak.
Neta mengatakan, dari 13 taruna tersebut, terdapat dua anak jenderal, tujuh anak kombes dan empat anak warga sipil sehingga ia mengapresiasi ketegasan Polri dalam mengambil keputusan itu.
Dari pantauan IPW, kata dia, semula keputusan pemecatan terhadap 13 Taruna Akpol itu berjalan alot.
Sidang Wanak Akpol terpaksa dilakukan selama dua hari, meski Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan tetap terhadap kasus itu.
Neta menyebut, alotnya keputusan itu karena adanya usulan hanya empat taruna yang dipecat sehingga memunculkan polemik.
"Bagaimanapun Akpol adalah lembaga pendidikan dan candradimuka tempat melahirkan kader kader Polri yang profesional, humanis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM," kata Neta.
Lindungi Marwah Polri dan Akpol
Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Kalemdiklat) Polri, Komjen Pol Arief Sulistyanto mengaku pemberhentian 13 taruna Akademi Kepolisian (Akpol) atas kasus selama dua tahun terakhir merupakan upaya untuk melindungi marwah Polri dan Akademi Kepolisian.
"Ini jadi momentum bagi saya sebagai Kalemdiklat Polri serta memberikan warning kepada para taruna, yang menurut saya Akpol itu awal dari pembentukan perwira Polri di masa depan," kata Arief saat ditemui Tribunnews.com di Lemdiklat Polri, Jakarta Selatan, Rabu (13/2/2019).
Arief menilai apabila kasus taruna seperti itu tidak dibenahi, maka yang jadi taruhannya adalah institusi Polri itu sendiri.
Pasalnya, seperti tercantum dalam pasal 21 ayat 1 huruf G UU nomor 2 tahun 2002, bahwa untuk diangkat menjadi anggota Polri itu tidak boleh melakukan tindak pidana yang sudah berkekuatan hukum tetap.
"Nah, ketigabelas taruna itu sudah terpidana statusnya, dan keputusan perwira itu ada di tangan Presiden. Seandainya kalau sampai Presiden itu menandatangani, itu bahaya," lanjut Arief.
Adapun Arief juga menekankan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh taruna Akpol ini harus dihentikan.
Halaman selanjutnya
"Selanjutnya harus memberikan efek deterensi. Ini (kekerasan) sudah bertahun-tahun dilarang, tapi kok terjadi lagi terjadi lagi?
Harus ada efek deteren. Maka saya sampaikan yang jelas dasar hukum yang paling kita jadikan pedoman di gelar sidang," pungkas Arief.
Ajukan Keberatan
Sebelumnya diberitakan, sembilan dari 14 terdakwa penganiayaan taruna Akpol mengajukan nota pembelaan dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Senin (6/11/2017).
Dalam pledoinya, mereka meminta agar hakim membebaskan dari dakwaan dan tuntutan hukum.
Kuasa hukum terdakwa Junaedi mengatakan, kliennya tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan pasal 170 ayat 1 KUHP.
Seluruh unsur dalam pasal yang didakwakan jaksa dinilai tidak cukup kuat untuk terjadinya perbuatan pidana.
Menurut dia, para terdakwa diproses di muka hukum atas laporan polisi tertanggal 17 Mei 2017.
Pihak pelapor yaitu pembina taruna.
Ia melaporkan adanya sebuah tindak pidana berupa kekerasan yang menyebabkan kematian Brigdatar Muhammad Adam, dengan terlapor salah satu taruna tingkat III dalam berkas terpisah.
Namun dalam perkara a quo, tidak ada korban yang meninggal.
"Antara para terdakwa juga tidak ada kerja sama, sehingga tidak ada unsur kekerasan dengan tenaga bersama," ujar Junaedi.
Junaedi membantah unsur kesengajaan dan dengan tenaga bersama dalam pasal tersebut.
Menurut dia, terdakwa tidak melakukan pemukulan secara serentak, dan tidak pula dilakukan secara bersama-sama. Kegiatan pembinaan dilakukan face to face atau tidak dilakukan dengan tenaga bersama.
Pembinaan yang dilakukan, dengan cara terukur dan tidak menyakiti.
"Kalau iya (masuk pidana) itu tidak pidana ringan atau tipiring. Penganiayaan ringan, tapi berdasar asas ultrapetita terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana yang tidak dilakukannya," tambahnya.
Selain itu, 21 taruna tingkat II yang diposisikan sebagai korban juga tidak melaporkan kekerasan ke pihak kepolisian.
Karena itu, penasehat hukum mempertanyakan dasar pengusutan atas kliennya.
"Lalu atas dasar apa dilaporkan. 21 taruna itu mengaku bukan sebagai korban, tapi kegiatan itu bermanfaat sebagai bekal di kemudian hari menjadi polisi," tambahnya seperti ditulis Kompas.com.
Tim penasehat hukum juga memastikan kekerasan terhadap Brigdatar Muhammad Adam hingga ia meninggal dunia tidak dilakukan oleh kliennya.
"Ibu kandung (Adam) sudah memaafkan perbuatan taruna 3 dan tidak ingin taruna dihukum, tapi menyerahkannya ke Akpol tergantung dengan tingkat kesalahan," ucapnya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa Joshua Evan Dwitya Pabisa, Broto Hastono menambahkan, tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta hukuman 1,5 tahun tidak realistis.
Jaksa dinilai terlalu emosional dan memaksakan pendapat hukumnya.
"Tuntutan tinggi dipaksakan bahwa seolah terdakwa itu pelakunya. Apakah mereka lakukan perbuatan sesuai tuntutan atau tidak," ujarnya di depan hakim Casmaya.
Menurut dia, para terdakwa tidak dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
Sebab terdakwa tidak ada niat jahat.
"Terdakwa merupakan siswa terpilih dimana kariernya harus diselamatkan. Pemberitaan yang berkembang tidak benar dan merusak nama baik terdakwa. Menghukum terdakwa berarti memutus pendidikan terdakwa," tuturnya.
"Minta dibebaskan dan dikembalikan lagi harkat dan martabatnya," pintanya lagi.
Sembilan terdakwa yang mengajukan pledoi itu antara lain Joshua Evan Dwitya Pabisa, Reza Ananta Pribadi, Indra zulkifli Pratama Ruray, Praja Dwi Sutrisno, Aditia Khaimara Urfan, Chikitha Alviano Eka Wardoyo, Rion Kurnianto, Erik Aprilyanto, dan Hery Avianto.
Kuliah Beasiswa..?? Klik Disini
Gambar : Inikata.com
Sumber : TribunJateng.com
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete